Kuliah Umum: Indonesia di Pusaran Sengketa Laut Cina Selatan

Jakarta, Indonesia  – Universitas Pertamina menyelenggarakan kuliah umum pada hari Jumat, 19 April 2024, dengan tema  “Understanding the South China Sea Territorial Dispute from the Perspective of International Law.” Kuliah ini disampaikan oleh Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, seorang Duta Besar Indonesia untuk Austria, Slovenia, dan Organisasi Internasional di Wina. Kuliah umum ini merupakan acara yang secara rutin diselenggarakan oleh Mandala Saksana Astagatra, Laboratorium Diplomasi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina. Pada kesempatan kali ini, kuliah umum berlangsung di Ruang Auditorium, Auditorium Gedung Griya Legita, Universitas Pertamina. dan telah berhasil memantik berbagai pertanyaan kritis peserta dibawah panduan Tanaya Salmarizka Ahmadina sebagai MC dan Ibu Naeli Fitria, M.A. sebagai Moderator. Kuliah ini dihadiri oleh perwakilan Pusat Informasi Maritim Tentara Nasional Indonesia (Pusinformar TNI), Universitas Jayabaya, dan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII).

Kuliah Umum ini diawali dengan sambutan dari Ketua Program Studi Hubungan Internasiona, yakni Bapak Iqbal Ramadhan, M. IP. dan dibuka oleh Ibu Dr. Dewi Hanggraeni, SE., MBA., selaku Dekan Fakultas Komunikasi dan Diplomasi. Kuliah Umum ini menghadirkan berbagai insight baru utamanya terkait konflik Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, terutama dengan meningkatnya kekuatan Cina dan beberapa negara pengklaim yang menegaskan hak mereka atas wilayah tersebut. Bapak Domus menjelaskan masalah yang kompleks ini, dengan menekankan pentingnya pendekatan terhadap perselisihan melalui lensa hukum internasional. Beliau menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek anatomi konflik ini yaitu kepemilikan pulau, hak zona maritim, dan stabilitas nasional. Adapun Beliau mencatat bahwa banyaknya ahli atau pakar yang berambisi untuk menyelesaikan isu Laut Cina Selatan dengan berfokus pada stabilitas nasional, namun sebenarnya akar permasalahan tersebut terletak pada kepemilikan pulau atau kedaulatan. 

Tidak hanya itu, Bapak Domus juga membahas terkait putusan Pengadilan Arbitrase 2016, yang menyatakan bahwa sembilan garis putus-putus China tidak sesuai dengan UNCLOS. Beliau menekankan bahwa meskipun Arbitrase tersebut tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kepemilikan pulau, namun cukup untuk berfungsi sebagai pemberi batasan bagi Cina. Adapun terdapat pengaruh keputusan Arbitrase ini bagi Indonesia, yakni terkait penetapan Cuarteron Reef bukan sebagai pulau, melainkan hanya sebuah karang sehingga klaim 200 mil tidak sah dan membuat Indonesia tidak terlibat sengketa wilayah di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, hal tersebut menjadikan peran Indonesia sebagai negara non-claimant dan honest broker dalam stabilitas regional.

Di akhir sesi pemaparan, Bapak Domus menyatakan bahwa Indonesia menggunakan peran diplomasinya terkait konflik ini melalui UN Diplomatic Note Battle 2019-2020 yang mencegah klaim Laut Cina Selatan menjadi embrionik dan terkonsolidasi. Tidak hanya itu, Indonesia juga menentang segala bentuk negosiasi terkait nine dash line China. Sesi pemaparan kemudian ditutup dengan tanggapan yang diberikan oleh Ibu Naeli Fitria, M.A. Antusiasme yang tinggi para peserta ditunjukkan dari banyaknya pertanyaan kritis yang muncul. Kemudian, kegiatan ini ditutup dengan penyerahan cenderamata kepada Bapak Domus sebagai pemateri. 

Categories: Events