Lini Masa #5 Beyond the Greater Sunrise: East Timor, Australia, and Indonesia in the Vortex of Timor Sea Maritime Delimitation

Sabtu, 19 Februari 2022, Program Lingkar Opini Mandala Saksana Astagatra (Lini Masa) #5 kali ini membahas mengenai “Beyond the Greater Sunrise: East Timor, Australia, and Indonesia in the Vortex of Timor Sea Maritime Delimitation”. Kegiatan webinar ini dilaksanakan melalui platform Zoom dan dipandu oleh MC yaitu Priesca Ayu dan Fendi Irawan serta Moderator yaitu Hardhana Danastri Dinaring yang merupakan mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pertamina. Kegiatan webinar ini dihadiri oleh Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan yaitu Bapak Budi W. Soetjipto, Ph.D, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekaligus Dekan Fakultas Komunikasi dan Diplomasi yaitu Ibu Dr. Dewi Hanggraeni, S.E., M.B.A., Ketua Program Studi Hubungan Internasional yaitu Bapak Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int selaku Narasumber I, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia pada Republik Austria, Republik Slovenia dan Organisasi Internasional/Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, yaitu Bapak Dr. (iur). Damos Dumoli Agusman, SH., M.A. selaku Narasumber II dan Dosen Universitas Pertamina, Mahasiswa Hubungan Internasional, serta para tamu undangan lainnya.

Webinar ini diawali dengan sambutan dari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekaligus Dekan Fakultas Komunikasi dan Diplomasi yaitu Ibu Dr. Dewi Hanggraeni, S.E., M.B.A. dan  Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan yaitu Bapak Budi W. Soetjipto, Ph.D kemudian dilanjut dengan pemaparan materi dari Narasumber I yaitu Bapak Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int  yang membahas tentang mengapa Australia menerima perjanjian Timor Sea Treaty yang dimana hal tersebut nampaknya justru merugikan Australia, namun apabila ditelusuri lebih dalam ternyata tidak seperti itu. Sengketa yang terjadi di Selat Timor sejak tahun 1970 yang  dilandasi oleh banyak perjanjian – perjanjian Internasional baik dari Indonesia dengan Australia. Singkatnya pada tahun 2018, pada akhirnya terjadi sebuah perjanjian yaitu, “Timor Sea Treaty” antara Australia dengan Timor Leste, dimana kedua negara ini bersepakat untuk menetapkan batas – batas maritim berdasarkan UNCLOS dan hasil dari perjanjian tersebut, Timor Leste berhasil memaksimalkan potensi klaim untuk teritorialnya terhadap celah Timor terutama dalam konteks pengelolaan The Greater Sunrise yang kaya akan Liquid Natural Gas (LNG). Namun, kekayaan tersebut nampaknya akan habis dalam beberapa tahun ke depan.

Selanjutnya, dilanjutkan pemaparan materi dari Narasumber II yaitu, Bapak Dr. (iur). Damos Dumoli Agusman, SH., M.A. yang membahas tentang “pemahaman mengenai peta” sebagai data pendukung yang relatif mutlak dalam menjelaskan geopolitik Oil and Gas  yang mana hanya bisa tergambarkan melalui peta. Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga  dengan 3 garis batas yang berbeda di dalam peta dan  masing – masing garis itu memiliki implikasi politis yang berbeda.  Dalam memahami peta tersebut, kita tidak hanya memahami Laut Teritorial tetapi, kita juga harus memahami Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada tahun 1971 – 1972  terdapat sebuah perjanjian landas kontinen  antara Indonesia dan Australia yang pada saat itu, Timor Timur masih menjadi bagian dari Portugal sehingga, perjanjian tersebut berhenti pada sebuah titik yang disebut dengan “titik 15” atau dapat disebut juga dengan trijunction yang disebabkan oleh rasa hormat Indonesia dan Australia terhadap Timor Timur Portugal yang memiliki hak terhadap wilayah yang terletak di antara titik 15 dan titik 16. Pada saat Timor Timur berintegrasi ke Indonesia yang menyebabkan Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia, maka terhadap Australia, Indonesia dapat membuat sebuah perjanjian yang disebut dengan “Timor Gap Treaty”. Dengan adanya perjanjian tersebut, Indonesia dan Australia membuat sebuah garis yang disebut dengan ZEE dan garis landas kontinen sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan ‘Air milik Indonesia, namun dasar laut milik Australia’. Ketika Timor Leste merdeka, maka Timor Gap Treaty harus dihentikan karena Timor Gap Treaty sudah menjadi bagian dari kewenangan Timor Leste.

Pasca Timor Leste merdeka, hubungan antara Timor Leste dan Australia didominasi oleh soal pembagian sumber migas. Jadi, dapat dikatakan bahwa fokus Australia di Laut Timor itu termasuk dukungan memerdekakan Timor Timur yang disebabkan oleh kepentingan migas. Setelah merdeka, Timor Leste mendapat dukungan dari PBB. Hal yang menarik pula untuk diamati  adalah bagaimana Australia mereka menarik diri dari juridiksi International Court of Justice (ICJ) dan UNCLOS dan melakukan sebuah perundingan “Timor Joint Development” yang pada akhirnya perundingan tersebut tidak menghasilkan sebuah kesepakatan karena Timor Leste merasa bahwa terdapat suatu hal yang kurang adil bagi mereka. Timor Leste kemudian mengajukan proses konsiliasi UNCLOS yang pada akhirnya diterima Australia. Di balik semua itu, politik batas maritim Timor Leste dan Australia tidak terlepas tentang isu minyak bumi dan gas alam. Timor Leste juga berkepentingan untuk kepastian batas di sekitar ‘Greater Sunrise’.

Sebelum kegiatan ditutup, dilakukan sesi tanya jawab bersama Narasumber I dan Narasumber II. Pertanyaan pertama diajukan oleh Bapak Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int selaku Narasumber I dan pertanyaan beliau adalah mengapa Indonesia sebagai negara kepulauan cenderung lebih fokus ke darat daripada di laut. Bapak Dr. (iur). Damos Dumoli Agusman, SH., M.A. kemudian menjawab pertanyaan tersebut bahwa sebenarnya di darat itu terdapat sebuah kekisruhan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terkait batas ladang mereka apakah masuk di kawasan Timor Leste atau masuk Indonesia. Sehingga dari segi domestik, kepentingan Indonesia terletak di situ karena bisa menjadi potensi sumber konflik. Sedangkan di laut, potensi konflik antara Indonesia dengan Timor Leste tidak terlalu nyata. Maka dari itu, Indonesia cenderung fokus pada mitigasi konflik yang bisa saja terjadi di darat.

Pertanyaan kedua diajukan oleh Ariscyanatha Putra yang merupakan salah satu alumni Program Studi Hubungan Internasional. Pertanyaan saudara Aris terkait dengan apakag endorsement eksplorasi migas di wilayah perbatasan akan mendukung posisi Indonesia untuk berunding dengan negara-negara terkait, khususnya dalam kasus Timor Gap ini. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan, apakah perusahaan Migas Indonesia akan dilibatkan dalam eksplorasi dan eksploitasi di Timur Tengah.  Bapak Dr. (iur). Damos Dumoli Agusman, SH., M.A. kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan membenarkan bahwa Timor Leste berhasil memaksa Australia untuk menerima konsep equisdistant line yang merupakan konsep dari UNCLOS sehingga akan mudah bagi Indonesia ketika berhadapan dengan Australia. Kemudian pertanyaan terakhir dijawab oleh Bapak Damos bahwa perusahaan Migas Indonesia tergantung kepada market karena Pemerintah tidak bisa mengintervensi terlalu jauh.

Tiba di penghujung acara, Bapak Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int selaku Narasumber I dan Bapak Dr. (iur). Damos Dumoli Agusman, SH., M.A. selaku Narasumber II memberikan closing statement pada acara webinar Lini Masa #5 yang mengangkat tema “Beyond the Greater Sunrise: East Timor, Australia, and Indonesia in the Vortex of Timor Sea Maritime Delimitation” dan di tutup dengan sesi kuis yang harus dijawab oleh peserta.

Categories: Lini Masa, News