Keikutsertaan Pusat KKPA pada FGD Strategi Pertahanan Udara Indonesia: Tinjauan Industri Pertahanan Bidang Persenjataan Angkatan Udara

Pada hari Rabu, 12/02/2020, Badan Instalasi Strategi Pertahanan (Bainstrahan) Kementerian Pertahanan menyelenggarakan FGD dengan tema Strategi Pertahanan Udara Indonesia dengan Mengadopsi Teknologi Eropa dan Amerika: Tinjauan Industri Pertahanan Bidang Persenjataan Angkatan Udara. Dalam FGD tersebut, Kepala Pusat KKPA LAPAN, Dr. Robertus Heru Triharjanto, M.Sc. menjadi salah satu narasumber. Nara sumber lain dalam FGD tersebut adalah Dr. Ian Montratama, MEB., M.Si (Han), yang merupakan dosen HI Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Universitas Pertamina. FGD dilaksanakan dalam rangka mendiskusikan kekuatan pertahanan udara Indonesia. Saat ini kekuatan pertahanan udara Indonesia bisa dikatakan mengalami penurunan baik dari segi jumlah maupun kualitas, sehingga memerlukan penguatan dalam rangka menghadapi berbagai ancaman, baik yang aktual maupun yang potensial yang semakin kompleks. Penguatan pertahanan udara tersebut bisa dilakukan melalui kerja sama teknologi dengan negara lain untuk dikembangkan di dalam negeri melalui industri pertahanan yang dimiliki oleh Indonesia. Hal tersebut sebagai wujud adopsi atas teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa yang telah memiliki teknologi pertahanan udara yang mumpuni.
FGD dibuka oleh Kolonel CAJ Drs. Luma Sahap Maranata, M.A. dari Bainstrahan Kemhan. Dalam kesempatan tersebut, Kolonel Luma Sahap Maranata memaparkan tentang pentingnya memperkuat pertahanan udara Indonesia, yang menjadi salah satu kepentingan nasional yang saat ini harus segera diwujudkan dalam rangka menghadapi berbagai ancaman yang melingkupi Indonesia. Pemaparan pertama FGD disampaikan oleh Dr. Ian Montratama, yang memaparkan kekuatan pertahanan udara dari aspek sosial politik. Menurutnya sebelum menentukan teknologi yang akan dikembangkan maka terlebih dahulu harus menentukan ancaman yang dihadapi oleh Indonesia, karena pilihan teknologi harus disesuaikan dengan bentuk ancaman tersebut. Ancaman-ancaman tersebut tentunya juga akan berpengaruh pada sistem pertahanan negara, dimana saat ini sistem pertahanan rakyat semesta masih menjadi sistem pertahanan negara masih diaplikasikan oleh Indonesia. Dijelaskan bahwa ancaman dapat dilihat dari 4 perspektif, yaitu: 1) kekuatan agregatnya; 2) kedekatan geografis; 3) kemampuan offensive; dan 4) intensi offensive. Berdasarkan perspektif tersebut, Dr. Ian menjelaskan bahwa potensi ancaman Indonesia saat ini salah satunya adalah berasal dari China, yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan (LCS).
Kasus yang belum lama terjadi tentang nelayan China yang melakukan kegiatan di Laut Natuna Utara dengan dikawal oleh China Coast Guard menjadi bentuk “test the water” China di LCS. Pada dasarnya untuk melihat respon dan reaksi Indonesia atas hadirnya China di Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah Indonesia. Berdasarkan kasus tersebut maka seharusnya Indonesia mulai menguatkan sistem pertahanan negaranya dengan membangun postur pertahanan melalui modernisasi alutsista dan membangun kemitraan strategis dengan negara-negara yang bisa diajak bekerja sama.
Membangun kemitraan strategis dengan negara lain menjadi salah satu jalan yang harus dilakukan oleh Indonesia saat ini. Politik luar negeri bebas-aktif yang diaplikasikan Indonesia saat ini bukan merupakan penghalang dalam membangun kemitraan strategis dengan negara lain untuk memperkuat sistem pertahanan negara. Kemitraan strategis tersebut menjadi strategi penyeimbang (balance of power), misalnya dari kekuatan China di Laut Natuna Utara. Dalam memilih mitra strategis tersebut Dr. Ian menjelaskan ada 5 faktor yang berpengaruh, yakni: 1) Added value for External Balancing; 2) Availability; 3) Accessibility; 4) Affordability; 5) Quality.
Kesimpulan yang dapat diambil dari presentasi tersebut adalah bahwa pentingnya meningkatkan anggaran pertahanan untuk mengimbangi alutsista yang dimiliki oleh ancaman yang ada, misalnya China. Postur kekuatan pertahanan China yang kuat dalam alutsistanya, baik matra darat, laut, maupun udara, namun hal tersebut bisa menjadi strategi internal balancing Indonesia terhadap China. Pentingnya membangun kemitraan strategis dengan dengan negara lain seperti Amerika sebagai bentuk external balancing. Serta pentingnya membuat roadmap/ blueprint teknologi pertahanan nasional.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Kepala Pusat KKPA, yang menyampaikan tentang tinjauan teknologi dan strategi industri pertahanan udara global dan Indonesia. Ada 4 hal utama yang disampaikan oleh Dr. Heru, yaitu: 1) Trend Teknologi Angkatan Udara Global; 2) Sistem Pendukung Beyond Air; 3) Doktrin Melemahkan Sistem Pendukung; dan 4) Industri Aerospace and Defense Indonesia.
Dr. Heru menyampaikan bahwa saat ini teknologi angkatan udara berkembang dengan pesat, dimana teknologi antariksa dan cyber menjadi bagian tak terpisahkan dari pengembangan teknologi angkatan udara tersebut. Perkembangan teknologi pesawat tempur misalnya, pada pesawat generasi ke 4, yang telah digunakan sejak akhir perang Vietnam, mengandalkan teknologi radar dan rudal jarak menengahnya. Pada pesawat generasi ke 5, yang saat ini mulai dioperasikan, mengandalkan network atau informasi yang didapat jadi sistem pendukung, untuk mengetahui posisi lawan diluar jangkauan radar, dan memilih strategi penyerangan terbaik. Teknologi pesawat tanpa awak (unmanned aero vehicle – UAV), rudal jelajah jarak jauh, dan bom pintar yang bisa bermanuver untuk menuju sasarannya, juga telah menjadi bagian yang penting dari angkatan udara di negara-negara maju. Akurasi dari teknologi alutsista tersebut dapat menghindarkan adanya ‘collateral damage’ dari penyerangan, yang bisa mengeskalasi konflik, dan bahkan membuat jumlah musuh menjadi bertambah.
Selanjutnya dijelaskan tentang teknologi antariksa yang menjadi teknologi pendukung alutsista angkatan udara, yakni melalui teknologi satelit navigasi, satelit penginderaan jauh, dan satelit telekomunikasi. Satelit navigasi menjamin bahwa bom pintar, UAV, dan rudal jelajah bisa mencapai daerah sasaran yg diinginkan. Satelit penginderaan jauh bisa melihat kondisi sasarn sebelum dan sesudah penyerangan. Satelit komunikasi menjamin UAV bisa dikendalikan bahkan dari jarak ribuan kilometer, dan pesawat tempur generasi ke 5 untuk bisa menerima semua informasi yang diperlukan untuk operasinya. Secara terintegrasi teknologi tersebut menjadi kontributor utama sistem Komando, Kendali, Komunikasi, Intelijen, Pengamatan, dan Pengintaian (Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance – C4ISR).
Vitalnya C4ISR membuat doktrin peperangan baru, yakni perang elektronik menjadi trend sejak akhir tahun 90an. Selain serangan melalui perangkat lunak (pada sistem informasi), serangan juga dilakukan pada perangkat keras, termasuk teknologi satelit. Dengan batasan yang diberikan oleh Perjanjian Internasional tentang Antariksa (Space Treaty) tahun 1967, negara-negara yang mampu antariksa (space fairing) mengembangkan metoda menghancurkan satelit yang mendukung operasi militer dengan menembaknya dengan roket. China, dan India, diantaranya, telah membuat menguji coba teknologi yang dinamakan Anti-Satellite (ASAT) Missile tersebut pada tahun 2007 dan 2019. Tanpa dukungan satelit, diperkirakan teknologi senjata udara canggih milik negara-negara maju tersebut akan lumpuh, dan strategi perang akan kembali seperti tahun 70an. Kuatir akan kejadian tersebut, presiden Amerika, Donald Trump, membentuk angkatan ke 6, yakni angkatan antariksa (Space Force), yang sebelumnya merupakan bagian dari angkatan udara. Angkatan tersebut bertugas untuk menjamin keamanan asset militer Amerika Serikat di antariksa.
Teknologi angkatan udara di Amerika dan Eropa bisa terus berkembang, karena industri aerospace and defense di negara-negara maju tersebut dipelihara dengan kontrak-kontrak alutsista dan perangkat C4ISR yang memadai. Kondisi yang sama diperlukan  apabila teknologi pertahanan udara di Indonesia ingin memadai. Dari sisi kebijakan, Indonesia telah memiliki Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), untuk menjamin keberpihakan pada industri pertahanan nasional. Dari industri, Indonesia saat ini sudah memiliki pabrik pesawat (PT. DI), pabrik perangkat elektronik (PT. LEN), dan pabrik munisi (PINDAD). Juga ada sumberdaya peneliti dan laboratorium di Universitas dan Lembaga Riset pemerintah. Jika disinergikan, hal-hal tersebut merupakan modal yang kuat untuk membangun sistem pertahanan udara Indonesia. Sinergi tersebut dalam bentuk proyek pengembangan produk, seperti proyek pesawat tempur KFX/IFX yang dilakukan dengan Korea Selatan. Proyek-proyek tersebut harus diperbanyak untuk produk radar, UAV, dan rudal. Seperti proyek KFX/IFX, proyek pengembangan alutsista dan perangkat C4ISR yang benar akan memakan waktu yang cukup lama. Jika waktu dan dana yang diberikan tidak cukup, hanya avonturir yang akan mau mengerjakan proyek tersebut. Sehingga, kemungkinan besar akan mengalami kegagalan.
Berdasarkan pemaparan dari para narasumber, pemimpin FGD, Kolonel Luma Sahap, memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan tanggapannya dan pertanyaan. Dari diskusi, pimpinan FGD menyimpulkan hal berikut: Teknologi pertahanan yang dimiliki dan akan dikembangkan oleh Indonesia harus relevan dengan ancaman yang harus dihadapi, baik ancaman aktual maupun potensial, karena perang masa depan merupakan perang persaingan kecanggihan teknologi;
Industri pertahanan dalam negeri harus dipacu untuk maju agar menjadi defence contractor yang kuat yang memiliki teknologi yang maju juga untuk mendukung sistem pertahanan negara;
Sangat penting menentukan siapa musuh kita dan siapa teman, dan bagaimana bentuk ancamannya. Sehingga bisa merumuskan strategi yang tepat dalam membangun kemitraan strategis dengan berbagai negara untuk mewujudkan kepentingan nasional Indonesia dalam pertahanan.